Rabu, 30 Januari 2013

Konfrontasi Estetika dan Keberdayaan Seniman

Sumber Asli: Akidah Gauzillah

“Seni bukan lagi persoalan estetika. Lebih dari itu, menyangkut kemanusiaan.” Demikian isi pidato sambutan Vukar Iodak, pemerhati seni rupa, di malam pembukaan SACCHARINE Smile Agoes Jolly, di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17-31 Desember 2012. Pameran seni rupa yang digagas Yayasan Kreasi Pitulungan memberi perhatian dan apresiasi bagi seniman Agus Jolly yang terbelenggu penyakit diabetes dan berjuang bertahan hidup di tengah kesulitan kebutuhan primer. Sedikitnya 200 orang hadir, mendengarkan para tokoh bicara, dan penyair Sihar Ramses Simatupang membacakan puisi yang diciptakannya khusus bagi Agoes Jolly. Sementara tokoh nasional Fadli Zon menegaskan, “Bangsa yang beradab menghargai kebudayaannya. Pemerintah mestinya memperhatikan kehidupan seniman.”



Perhatian pemerintah terhadap para seniman memang memprihatinkan. Karya kreatif yang sejatinya mengangkat harkat martabat bangsa, tidak otomatis mendudukkan kreatornya dalam kelayakan hidup. Seniman performance art seperti Agoes Jolly, misalnya, harus memilih uang yang didapat dari kerja keras digunakan untuk modal berkarya, atau mengobati penyakitnya? Menurut sang istri, diabetes telah menggeragoti tubuh Jolly selama 20 tahun, namun tidak menghalangi semangat berkarya. Padahal, selama melukis dan memamerkan karya, belum pernah  ada yang laku. Secara popularitas, Agoes Jolly adalah seniman ternama, dengan ciri khas performance art-nya yang unik dan kental estetika personal. Sayangnya, itu tidak menolong kehidupan keseharian, bahkan ketika harus terbaring di rumah sakit, terpaksa meski memakai surat keterangan tidak mampu (SKTM). Itu artinya, sang seniman besar ini tergolong pada strata sosial miskin.




Menurut pendiri Yayasan Pitulungan, Irawan Karseno, kemiskinan mayoritas penduduk Indonesia karena gap (jurang)  kaya-miskin menganga lebar, “40 orang terkaya menguasai 880 triliun, sedangkan 60 juta orang miskin memperebutkan 1200 triliun.” Diakuinya mengapa seorang pelukis miskin, misalnya, karena lukisan yang terjual hanya sesekali tidak menutupi modal kreativitas apalagi untuk keberdayaan hidup. Mesti ada peran Negara dan institusi sosial  untuk memberdayakan masyarakat agar gap tersebut tidak mencolok dan filantropi menjadi kebudayaan bangsa.


Sri Warso Wahono, yang karya-karya lukisnya sering terjual, dengan rendah hati mengatakan itu rahasia Illahi. Tidak ada teori mengapa seniman A tidak seberuntung seniman B. Bahkan pameran yang dihadiri ratusan orang tidak menjamin karya yang dipajang ada yang berminat membelinya.

“Belum ada yang menawar satu lukisan pun,” ujar mas Padhik, yang karyanya juga menghiasi pameran solidaritas bertajuk SAVE Agoes Jolly.



Apakah tak ada satu pun lukisan yang daya estetikanya memikat para pengunjung? Beberapa remaja nampak memotret lukisan-lukisan yang menarik minatnya, tetapi untuk membeli tentu sangat tidak terjangkau uang saku mereka bertahun-tahun. Lalu bagaimana dengan para pengunjung dari kalangan bonafid? Bukankah pameran bersama ini juga disemarakkan kanvas-kanvas besar tokoh kaliber Denny JA, yang relasi-relasi jetsetnya demikian luas? Tidak adakah yang terpancing membeli karena rasa kemanusiaan? Sepasang turis mancanegara tertawa-tawa melihat lukisan dan karya visual instalasi, dan tak lama mereka meninggalkan galeri.

Jadi rupanya, kedua usungan: estetika dan kemanusiaan, masih satu kesatuan empiris subyektif seniman, yang belum tentu menjadi magnet filantropi pihak lain, atas nama apa pun. Dalam hidup keseharian, seorang seniman di tengah kesusahan sandang pangan dirinya dan keluarganya penuh beban manifestasi estetika yang juga mengalir lewat perjuangan panjang. Ibarat buruh, seorang seniman adalah pekerja rodi yang tiada henti bekerja, karena program otaknya sudah terancang terus mencipta dan mengafiliasi tubuh untuk mengejawantahkan seni cipta. Tak ada gaji, tak ada tunjangan hidup layak, bahkan tak ada asuransi kesehatan apalagi keselamatan kerja. Tetapi kala karyanya sukses, mendunia, Negara yang pertamakali tersangkutpaut. Si A adalah seniman Indonesia. Si B adalah berlian bangsa. Karya C dan D adalah kekayaan bumi Pertiwi. Sedangkan keterpurukan sang seniman? Ya, risiko pribadi. Kualitas estetika? Tanggungjawab pelaku.

“Modalitas pengalaman estetis seniman itu besar, tak tertutupi lukisan yang laku 50 juta rupiah,” kata Aidil Usman, koreografer yang juga turut menyumbangkan seni instalasi di perhelatan pameran. Jadi sebenarnya seniman itu bukan miskin, namun keberdayaannya dalam bertahan hidup kerapkali berhadapan dengan tuntutan empirisisme akan estetika yang nilai standardnya tergantung si seniman sendiri.
“Agoes Jolly tidak berkarya yang bisa dipilih banyak orang,” jelas Irawan Karseno, “performing art-nya dihargai 5 juta rupiah, harus membeli banyak bahan yang bisa jadi lebih mahal. Industri kreatif sebenarnya sudah terbuka bagi seni kontemporer. Hanya kadang seniman tidak memahami bagaimana caranya untuk independen. Banyak persoalan kejiwaan juga yang mempengaruhi.”

Saccharine sugar alias biang gula atau gula palsu diibaratkan kalangan seniman bahwa gula diabetes yang mengorupsi tubuh teman mereka,Agoes Jolly, metafor tepat situasi sosial politik Indonesia yang manipulatif. Vukar Iodak mengingatkan melalui semangat solidaritas pameran, “tanda mungkin akan mengejar makna, tetapi makna juga dapat berlari sekencang-kencangnya menguraikan diri ke dalam kanal-kanal tanda. Dalam organisme mahluk hidup yang benar-benar real, tidak hanya terdapat konsep etnisitas, religiusitas, ras, dan entitas.”

Karya-karya yang hadir memang sungguh beragam, melekat erat dengan karakter kreatornya. Ada instalasi berupa water closet dengan panggung dewan perwakilan rakyat di dalamnya seakan menonton pertunjukan pornografi. Pula tas koper besar berisi penuh tumpukan uang korupsi. Sedangkan lukisan Saccharine Smile Agoes Jolly yang terpampang besar di dinding depan Galeri Cipta 2, dibuat oleh pelukis Ille Sale, menyerupai Monalisa karya maestro Leonardo da Vinci. Gap si kaya dan miskin seperti yang disinggung Irawan Karseno,mencuat melalui lukisan realisme S.Wito berjudul Gak Ngaruh, menggambarkan seorang penyemir tua yang sibuk di depan sedan putih mentereng. Sedangkan lukisan yang cukup menarik perhatian para pengunjung muda, Soft Glowing Light from the Sky,karya Budi Alfachuri, sederhana menampilkan gadis manis yang duduk santai namun pandangan matanya terasa magis. Denny JA, tentu saja menyumbangkan karya lukisnya yang sarat nuansa politis,disertai cuplikan esai. Salah satunya berjudul  Dua Wajah Pemimpin. Satu bulatan wajah, namun terdiri dua paras: Adolf Hitler dan Wanita Cantik. Ia memberi keterangan: Para pemimpin itu manis sekali tutur kata. Kami pilih dalam pemilu. Tapi di mana mereka kini? Mengapa kami dilupakan? Syiah di Sampang, Ahmadiyah di Mataram, Muslim di Ambon, Kristen di Poso, Kaharingan di Kalteng, Hindu di Lampung. Kami masih WNI yang syah.

Tidak seperti kebanyakan seniman yang pergulatan hidupnya bagai tak henti berkonfrontasi antara perjuangan estetika seni yang maha tinggi dengan keberdayaan diri bertahan hidup, Denny JA bebas royal bermain kanvas besar dan tumpahan cat. Praktisi kebudayaan Sihar Ramses Simatupang berharap, kepedulian tokoh kaliber Denny JA bukan hanya turut menyumbang karya-karya seninya di pameran kala itu. Seniman, khususnya semacam Agoes Jolly dengan idealisme silence of visual performance art, membutuhkan solidaritas yang lebih dari rangkaian pameran bersama yang dapat berfungsi menjadi kebersamaan kreatif. Untuk seniman. Untuk seni. Untuk peminat seni. Untuk kehidupan dan kemanusiaan yang tidak mungkin berdiri sendiri-sendiri.


















Tidak ada komentar:

Automatic translation of this blog (Terjemahan Otomatis Blog ini)

Entri Populer

Lingkaran UNP Press