Sumber Asli: Akidah Gauzillah
“Seni bukan lagi
persoalan estetika. Lebih dari itu, menyangkut kemanusiaan.” Demikian isi
pidato sambutan Vukar Iodak, pemerhati seni rupa, di malam pembukaan SACCHARINE
Smile Agoes Jolly, di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17-31
Desember 2012. Pameran seni rupa yang digagas Yayasan Kreasi Pitulungan memberi
perhatian dan apresiasi bagi seniman Agus Jolly yang terbelenggu penyakit
diabetes dan berjuang bertahan hidup di tengah kesulitan kebutuhan primer.
Sedikitnya 200 orang hadir, mendengarkan para tokoh bicara, dan penyair Sihar
Ramses Simatupang membacakan puisi yang diciptakannya khusus bagi Agoes Jolly.
Sementara tokoh nasional Fadli Zon menegaskan, “Bangsa yang beradab menghargai
kebudayaannya. Pemerintah mestinya memperhatikan kehidupan seniman.”
Perhatian
pemerintah terhadap para seniman memang memprihatinkan. Karya kreatif yang
sejatinya mengangkat harkat martabat bangsa, tidak otomatis mendudukkan
kreatornya dalam kelayakan hidup. Seniman performance art seperti Agoes Jolly,
misalnya, harus memilih uang yang didapat dari kerja keras digunakan untuk
modal berkarya, atau mengobati penyakitnya? Menurut sang istri, diabetes telah
menggeragoti tubuh Jolly selama 20 tahun, namun tidak menghalangi semangat
berkarya. Padahal, selama melukis dan memamerkan karya, belum pernah ada yang laku. Secara popularitas, Agoes
Jolly adalah seniman ternama, dengan ciri khas performance art-nya yang unik
dan kental estetika personal. Sayangnya, itu tidak menolong kehidupan
keseharian, bahkan ketika harus terbaring di rumah sakit, terpaksa meski
memakai surat keterangan tidak mampu (SKTM). Itu artinya, sang seniman besar
ini tergolong pada strata sosial miskin.
Menurut pendiri
Yayasan Pitulungan, Irawan Karseno, kemiskinan mayoritas penduduk Indonesia
karena gap (jurang) kaya-miskin menganga
lebar, “40 orang terkaya menguasai 880 triliun, sedangkan 60 juta orang miskin
memperebutkan 1200 triliun.” Diakuinya mengapa seorang pelukis miskin,
misalnya, karena lukisan yang terjual hanya sesekali tidak menutupi modal
kreativitas apalagi untuk keberdayaan hidup. Mesti ada peran Negara dan
institusi sosial untuk memberdayakan
masyarakat agar gap tersebut tidak mencolok dan filantropi menjadi kebudayaan
bangsa.
Sri Warso Wahono,
yang karya-karya lukisnya sering terjual, dengan rendah hati mengatakan itu
rahasia Illahi. Tidak ada teori mengapa seniman A tidak seberuntung seniman B.
Bahkan pameran yang dihadiri ratusan orang tidak menjamin karya yang dipajang
ada yang berminat membelinya.
“Belum ada yang
menawar satu lukisan pun,” ujar mas Padhik, yang karyanya juga menghiasi
pameran solidaritas bertajuk SAVE Agoes Jolly.
Apakah tak ada
satu pun lukisan yang daya estetikanya memikat para pengunjung? Beberapa remaja
nampak memotret lukisan-lukisan yang menarik minatnya, tetapi untuk membeli
tentu sangat tidak terjangkau uang saku mereka bertahun-tahun. Lalu bagaimana
dengan para pengunjung dari kalangan bonafid? Bukankah pameran bersama ini juga
disemarakkan kanvas-kanvas besar tokoh kaliber Denny JA, yang relasi-relasi
jetsetnya demikian luas? Tidak adakah yang terpancing membeli karena rasa
kemanusiaan? Sepasang turis mancanegara tertawa-tawa melihat lukisan dan karya
visual instalasi, dan tak lama mereka meninggalkan galeri.
Jadi rupanya,
kedua usungan: estetika dan kemanusiaan, masih satu kesatuan empiris subyektif
seniman, yang belum tentu menjadi magnet filantropi pihak lain, atas nama apa
pun. Dalam hidup keseharian, seorang seniman di tengah kesusahan sandang pangan
dirinya dan keluarganya penuh beban manifestasi estetika yang juga mengalir
lewat perjuangan panjang. Ibarat buruh, seorang seniman adalah pekerja rodi
yang tiada henti bekerja, karena program otaknya sudah terancang terus mencipta
dan mengafiliasi tubuh untuk mengejawantahkan seni cipta. Tak ada gaji, tak ada
tunjangan hidup layak, bahkan tak ada asuransi kesehatan apalagi keselamatan
kerja. Tetapi kala karyanya sukses, mendunia, Negara yang pertamakali
tersangkutpaut. Si A adalah seniman Indonesia. Si B adalah berlian bangsa.
Karya C dan D adalah kekayaan bumi Pertiwi. Sedangkan keterpurukan sang
seniman? Ya, risiko pribadi. Kualitas estetika? Tanggungjawab pelaku.
“Modalitas
pengalaman estetis seniman itu besar, tak tertutupi lukisan yang laku 50 juta
rupiah,” kata Aidil Usman, koreografer yang juga turut menyumbangkan seni
instalasi di perhelatan pameran. Jadi sebenarnya seniman itu bukan miskin,
namun keberdayaannya dalam bertahan hidup kerapkali berhadapan dengan tuntutan
empirisisme akan estetika yang nilai standardnya tergantung si seniman sendiri.
“Agoes Jolly
tidak berkarya yang bisa dipilih banyak orang,” jelas Irawan Karseno,
“performing art-nya dihargai 5 juta rupiah, harus membeli banyak bahan yang
bisa jadi lebih mahal. Industri kreatif sebenarnya sudah terbuka bagi seni
kontemporer. Hanya kadang seniman tidak memahami bagaimana caranya untuk
independen. Banyak persoalan kejiwaan juga yang mempengaruhi.”
Saccharine sugar
alias biang gula atau gula palsu diibaratkan kalangan seniman bahwa gula
diabetes yang mengorupsi tubuh teman mereka,Agoes Jolly, metafor tepat situasi
sosial politik Indonesia yang manipulatif. Vukar Iodak mengingatkan melalui
semangat solidaritas pameran, “tanda mungkin akan mengejar makna, tetapi makna
juga dapat berlari sekencang-kencangnya menguraikan diri ke dalam kanal-kanal
tanda. Dalam organisme mahluk hidup yang benar-benar real, tidak hanya terdapat
konsep etnisitas, religiusitas, ras, dan entitas.”
Karya-karya yang
hadir memang sungguh beragam, melekat erat dengan karakter kreatornya. Ada
instalasi berupa water closet dengan panggung dewan perwakilan rakyat di
dalamnya seakan menonton pertunjukan pornografi. Pula tas koper besar berisi
penuh tumpukan uang korupsi. Sedangkan lukisan Saccharine Smile Agoes Jolly yang
terpampang besar di dinding depan Galeri Cipta 2, dibuat oleh pelukis Ille
Sale, menyerupai Monalisa karya maestro Leonardo da Vinci. Gap si kaya dan
miskin seperti yang disinggung Irawan Karseno,mencuat melalui lukisan realisme
S.Wito berjudul Gak Ngaruh, menggambarkan seorang penyemir tua yang sibuk di
depan sedan putih mentereng. Sedangkan lukisan yang cukup menarik perhatian
para pengunjung muda, Soft Glowing Light from the Sky,karya Budi Alfachuri,
sederhana menampilkan gadis manis yang duduk santai namun pandangan matanya
terasa magis. Denny JA, tentu saja menyumbangkan karya lukisnya yang sarat
nuansa politis,disertai cuplikan esai. Salah satunya berjudul Dua Wajah Pemimpin. Satu bulatan wajah, namun
terdiri dua paras: Adolf Hitler dan Wanita Cantik. Ia memberi keterangan: Para
pemimpin itu manis sekali tutur kata. Kami pilih dalam pemilu. Tapi di mana
mereka kini? Mengapa kami dilupakan? Syiah di Sampang, Ahmadiyah di Mataram,
Muslim di Ambon, Kristen di Poso, Kaharingan di Kalteng, Hindu di Lampung. Kami
masih WNI yang syah.
Tidak seperti
kebanyakan seniman yang pergulatan hidupnya bagai tak henti berkonfrontasi
antara perjuangan estetika seni yang maha tinggi dengan keberdayaan diri
bertahan hidup, Denny JA bebas royal bermain kanvas besar dan tumpahan cat.
Praktisi kebudayaan Sihar Ramses Simatupang berharap, kepedulian tokoh kaliber
Denny JA bukan hanya turut menyumbang karya-karya seninya di pameran kala itu.
Seniman, khususnya semacam Agoes Jolly dengan idealisme silence of visual
performance art, membutuhkan solidaritas yang lebih dari rangkaian pameran
bersama yang dapat berfungsi menjadi kebersamaan kreatif. Untuk seniman. Untuk
seni. Untuk peminat seni. Untuk kehidupan dan kemanusiaan yang tidak mungkin
berdiri sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar